Mungkin sudah ada sebagian dari kita yang tidak asing lagi dengan foto yang ada si samping kiri ini. Foto itu adalah foto Andrea Hirata. Seorang penulis Indonesia kelahiran Belitong--yang sekarang adalah Bangka Belitung--yang memiliki karya yang luar biasa. Tetralogi Laskar Pelangi--Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov--adalah salah satu karya yang sangat fenomenal, sebuah karya yang banyak memberikan inspirasi kepada setiap pembacanya, termasuk saya. Jika saya ditanya "kata apa yang cocok untuk seorang Andrea Hirata" maka saya akan memilih kata "cerdas". Menurut saya Andrea adalah seorang penulis yang cerdas, cerdas dalam memainkan dan memasukkan kata-kata ilmiah, cerdas dalam mengolah alur cerita dan cerdas dalam memainkan emosi pembaca. Saya masih ingat betul bagaimana seorang Andrea apik dalam menjelaskan nama-nama ilmiah dari pohon, buah, bunga juga burung-burung yang selalu menghiasi cerita Laskar Pelangi. Tak ketinggalan Isaac Newton, Aristoteles bahkan Rhoma Irama pun ada disana, adapula fisikawan yang bernama Christian Huygens yang saya yakin tidak semua orang mengenalnya. Ketika saya membaca buku Laskar Pelangi yang saya rasakan adalah "hei...betapa bodohnya saya", banyak sekali ilmu baru dan istilah-istilah baru yang saya dapat dari buku tetralogi ini. Saya juga tak lupa akan kepiawaian nya dalam menjelaskan teori fisika tentang sebuah teori optik. Dia pasti pernah melakukannya, karena andai saja dia tak penah melakukannya tak mungkin dia sefasih itu menjelaskan tentang teori optik. Saya tak mengerti itu tapi Andrea dengan penjelasannya membuat saya sedikit mengerti.
Membaca Laskar Pelangi membuat saya berdecak kagum akan kecerdasan penulisnya, gaya bahasa yang tidak kaku dan pendeskripsian yang kuat akan karakter dari masing-masing tokoh membuat saya mengenal mereka. Sebuah bacaan yang sangat inspiratif yang mengajarkan kepada kita tentang kemauan untuk belajar, kemauan untuk berusaha dan kemauan untuk maju. Dalam setiap novel nya Andrea juga tak lupa menyelipkan cerita-cerita lucu yang membuat saya tersenyum dan tertawa, guyonan-guyonan khas Belitong yang membuat karya nya semakin kaya.
Aqil Barraq Badruddin adalah ternyata nama dari seorang Andrea. Itu saya ketahui setelah saya membaca buku ke-3--dengan judul Edensor--dari tetralogi Laskap Pelangi. Saya tidak tahu apakah itu benar atau hanya sebuah cerita fiktif yang dikarang Andrea, tapi saya meyakininya. Dalam cerita tersbut diceritakan orang tua Andrea berharap ketika ia dewasa ia akan menjadi anak yang sholeh dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya. Namun seiring berjalannya waktu ternyata nama itu tak sesuai dengan prilaku Andrea yang nakalnya sering membuat banyak orang jengkel dan ayahnya kesal. Ayahnya menyadari bahwa nama Aqil Barraq Badruddin terlalu berat untuk anaknya, maka dari itu ia mencari nama yang cocok untuk anaknya yang satu ini. Sudah banyak nama yang diberikan untuk Andrea tapi tetap saja ia selalu membuat onar. Akhirnya ayahnya pun menyerah dan menyerahkan penggantian nama tersebut ke anaknya sendiri. Dan anaknya pun menemukan nama yang dia inginkan, nama itu dia dapat dari sebuah majalah usang dimana didalamnya ada sebuah berita tentang seorang polisi yang dibuat repot oleh seorang wanita yang memanjat tiang telepon dan mengancam akan terjun jika Elvis Presley tidak membalas suratnya. Cerita yang aneh tapi dari situlah akhirnya ia memakai nama Andrea hingga sekarang--benar atau tidak hanya Andrea yang tahu.
Saya menyukai semua karya Andrea Hirata, buku Laskar Pelangi yang saya punya telah dibubuhi tanda tangan penulisnya. Kalian tahu bagaimana rasanya ketika buku yang kalian baca mendapat tanda tangan dari penulisnya? amboi rasanya. Tak bisa diungkapkan. Ada rasa haru, kebanggaan dan rasa memiliki yang begitu kuat ketika kita--khususnya saya--mendapat tanda tangan dari penulis buku yang kita baca. Saya menyukai Andrea Hirata, menyukai karya-karyanya dan kagum akan pribadinya. Saya masih ingat ketika saya melihat dia disebuah mall dikawasan Depok pada acara jumpa fans--atau semacamnya, saya lupa nama acara itu--antara Andrea dengan para pembacanya, sayang saat itu saya tidak membawa buku-bukunya karena saya tidak tahu ada acara itu. Saya hanya bisa melihatnya dari jauh. Meskipun peluh membasahi tubuhnya ia tetap ramah dan memberikan senyuman kepada setiap pembaca yang meminta tanda tangan dan berfoto bersama. Senyum khas seorang Andrea.
Tak hanya bukunya yang fenomenal, film dari Laskar Pelangi pun mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat--lebih dari 4 juta orang menontonnya. Sebuah film dari sutradara muda yang sangat berbakat Riri Riza. Saya menonton filmnya ketika perusahaan tempat saya bekerja mengadakan nonton bareng film tersebut, dan Andrea pun datang di acara itu. Kalian tahu...diacara itulah saya menghampiri dan meminta tanda tangan Andrea Hirata dan untuk pertama kalinya saya melihatnya dari dekat. Ya Tuhannn...saya mendapatkan tanda tangannya. Banyak mata tertuju pada saya, entah karena mereka iri atau aneh yang melihat saya datang tiba-tiba menghampirinya dan meminta tanda tangannya. Entahlah saya tidak mempedulikannya.
Kabar yang saya dengar buku tetralogi Laskar Pelangi telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa, sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi dunia sastra Indonesia khususnya Andrea Hirata sendiri. Buku tersebut kabarnya akan diterbitkan di Amerika, Jerman, Prancis, Korea serta beberapa negara Asia dan Eropa lainnya. Tak dipungkiri hal ini membuat Andrea Hirata sejajar dengan novelis-novelis dunia. Bukunya mampu menjangkau semua kalangan, mulai dari pelajar sampai seorang profesor sekalipun. Novel Andrea setelah tetralogi Laskar Pelangi adalah dwilogi Padang Bulan. Saya belum sempat membacanya meskipun sebenarnya buku itu ada ditanggan saya sejak Agustus 2010, sebuah pemberian dari seorang sahabat.
Andrea Hirata lulus cum laude dari program post graduate di Sheffield Hallam University, Unaited Kingdom melalui beasiswa Uni Eropa. Ia sempat menjalani riset di Gronongen, Holland dan Sorbonne, Paris. Tesis Andrea dibidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut. Tesis itu telah diadaptasi dalam bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi yang pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Ia pernah bekerja disebuah institusi keuangan di London dan diperusahaan telekomunikasi milik negara di Indonesia. Saat ini Andrea lebih banyak tinggal di Belitong bersama kedua orang tua nya, namun lebih banyak melewatkan waktu dipinggir sungai ditepi kampung, tanpa jaringan telepon, tanpa internet dan tanpa listrik--hmm...bisakah saya hidup seperti itu?
Tak kan habis kata dan cerita dari seorang Andrea Hirata, tak kan bosan menceritakan karyanya yang sangat inspiratif bagi semua orang.
Sebuah karya yang cerdas dari seorang yang cerdas, Andrea Hirata